Di tulisan sebelumnya, kita sudah membahas tentang kalangan elit di ekosistem Airwalk. Kalangan yang jumlahnya terbatas namun justru menentukan citra brand Airwalk itu sendiri di mata konsumen dari kalangan di bawahnya. Kali ini, kita akan mengupas kalangan mayoritas. Inilah kalangan yang dimaksud oleh Gladwell sebagai “kalangan bawah”. Tapi jangan salah, walaupun hanya mampu membeli sepatu yang dibanderol dengan harga murah, namun posisi mereka sangat strategis karena jumlahnya yang sangat banyak.
Kaum Mayoritas
Selain berhasil memperlakukan para innovator atau early adopter olahraga dengan baik, salah satu yang membuat Airwalk sukses adalah cara mereka memperlakukan kalangan yang berada satu level di bawah kalangan elit tersebut. Kalangan ini, meskipun cenderung memilih dan membeli sepatu dengan harga murah, tapi jumlahnya justru lebih banyak sehingga mampu memicu pendapatan yang lebih besar untuk kas perusahaan. Bagi kalangan ini, membeli sepatu yang kualitasnya di bawah sepatu para juara bukanlah sebuah tabu selama mereka bisa meniru desain dan mendapatkan merk yang dipakai para juara. Kelompok inilah yang disebut oleh Gladwell sebagai mayoritas.
Untuk mereka, Airwalk dengan jitu menjual sepatu-sepatu yang dari segi desain mungkin menyerupai apa yang dipakai oleh para kalangan elit seperti Tony Hawk namun dengan kualitas bahan yang tidak sebagus sepatu para juara. Hebatnya lagi, Airwalk mampu menjual sepatu-sepatu untuk kalangan mayoritas ini di tempat-tempat yang “tidak khusus” pula seperti pusat perbelanjaan maupun toko ritel sepatu terkenal seperti Foot Locker dan Kinney. Ini adalah lokasi-lokasi tempat para mayoritas umumnya membeli sepatu.
Dengan struktur harga, desain, kualitas dan lokasi seperti di atas, Airwalk berhasil menjadi salah satu produsen sepatu terkemuka di Amerika Serikat sampai akhirnya mereka melakukan kesalahan kecil yang berakibat besar. Apa itu?
Salah asuhan
Kesalahan kecil itu adalah dengan memutus distribusi sepatu elit mereka ke toko-toko atau butik tertentu yang biasanya dijadikan para kalangan elit sebagai tempat mencari sepatu yang biasa mereka pakai. Entah apa yang ada di pikiran para konsumen elit Airwalk, tapi menghilangnya sepatu-sepatu elit ini dari butik-butik khusus itu juga turut mempengaruhi selera kalangan elit terhadap merk Airwalk itu sendiri. Setelah mereka tahu bahwa sepatu-sepatu favoritnya ternyata juga dijual di tempat-tempat umum, mereka akhirnya jadi malas untuk melirik Airwalk sebagai sepatu berikutnya. Sepatu Airwalk yang sebelumnya mereka anggap sangat spesial dengan model-model khususnya, saat itu sudah menjadi sebaliknya. Para kalangan elit ini tampaknya cenderung ingin diperlakukan dengan sangat khusus dan berbeda dari kalangan di bawahnya.
Di tahun-tahun berikutnya, giliran kalangan mayoritas yang terpengaruh. Berhubung orang-orang yang mereka kagumi sudah tidak lagi mengenakan Airwalk, akhirnya para pembeli dari kalangan mayoritas yang sebelumnya memilih Airwalk, kini berpindah ke merk lain. Hal ini juga masuk akal karena salah satu alasan utama para pecinta Airwalk mengenakan Airwalk adalah karena sepatu ini hanya dipakai oleh orang-orang tertentu saja. Jadi saat kondisi ini tidak bisa lagi dipenuhi, akhirnya mereka memutuskan hal serupa. Berhenti menjadi pelanggan setia Airwalk.
Penutup
Di dalam kisah yang pertama tentang Paul Revere, Gladwell menyuguhkan kita sebuah kenyataan yang mencengangkan bahwa betapa latar belakang seorang pembawa berita ternyata bisa berpengaruh besar terhadap sukses tidaknya penyampaian suatu berita. Kenyataan ini sejatinya adalah hal yang remeh atau kecil, tapi siapa sangka berefek besar terhadap kemerdekaan sebuah negara. Sementara di kisah Airwalk, keputusan “kecil” para direksi Airwalk untuk memutus pasokan sepatu ke butik-butik tertentu ternyata bisa berakibat fatal terhadap total pendapatan perusahaan mereka. Melalui dua kisah ini, kita semua mungkin sudah bisa menarik sekelumit simpul bahwa terkadang berhasil tidaknya sesuatu itu – termasuk bisnis perusahaan Anda – mungkin saja tidak bergantung pada sesuatu yang besar, tetapi sebaliknya.
Limboto, 5 Februari 2012 10:36 WITA
Sebelumnya: “Tipping Point: Bisakah kita mengubah dunia dengan sesuatu yang kecil? (Bagian 2)”